Rabu, 18 Februari 2009

PONARI: Rakyat Miskin Dilarang Sehat

Rabu, 18 Februari 2009
Ponari sosok anak kecil dari Jombang Jawa Timur beberapa hari ini menjadi sorotan beberapa media masa. Betapa tidak, di balik kepolosan sang bocah tersimpan kekuatan gaib atau dengan bahasa yang beretika menjadi rahmat Yang Maha Kuasa (versi para pasien Ponari). Hal itu sah-sah saja, karena Yang Maha Kuasa memang memiliki hak super veto untuk mendatangkan sebuah rahmat ataupun bencana bagi umat-Nya, termasuk menentukan apa dan siapa yang akan menjadi media-Nya.

Penulis kali ini tidak akan mengupas masalah keajaiban yang dimiliki bocah Ponari, tetapi lebih terfokus pada silang sengketa dari bebera tokoh maupun lembaga yang ada.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (untuk selanjutnya penulis akan menyebut KNPA) sepertinya akan mengulang sukses keberhasilan (keberhasilan, atau pemaksaan dalam hal ini penulis masih rancu) atas kasus “Pernikahan di bawah umur,” dengan membuat pernyataan bahwa Ponari menjadi korban exploitasi dari orang dewasa. Yang menjadi pertanyaan penulis lewat media KabarIndonesia ini adalah: Apa arti sebenarnya “Korban eksploitasi dari orang dewasa?” Kata-kata ini sering-kali digunakan oleh KNPA sebagai tiket awal penanganan sebuah kasus yang menyangkut anak-anak.

Dalam hal ini penulis merasa berbeda pendapat dengan KNPA. Penulis berpendapat bahwa eksploitasi anak-anak oleh orang dewasa memiliki makna: ”Terjadinya pemaksaan kehendak dari orang dewasa dengan menggunakan anak-anak sebagai media guna memperoleh keuntungan yang bersifat pribadi (pada umumnya financial atau sexsual).

Kasus Ponari memiliki tiga hal yang berbeda yaitu:
- Proses terjadinya kekuatan gaib (versi pasien) pada diri Ponari. - Obyek pengobatan yang ditangani Ponari
- Latar belakang Obyek yang ditangani Ponari.

Proses terjadinya kekuatan gaib yang dimiliki oleh Ponari bukan bersifat perencanaan yang dibuat oleh kedua orangtua ataupun orang dewasa di lingkungannya. Proses itu terjadi bersifat metafisika dan tidak terduga sebelumnya atau dalam bahasa yang lebih sederhana kita sebut anugerah Yang Maha Kuasa. Dan sebagaimana sebuah bencana, sebuah anugerah pun diturunkan tentu memiliki sebuah tujuan. Kemungkinan terbesar adalah sebagai media pertolongan Yang Maha Kuasa terhadap rakyat miskin dan tidak mampu yang ingin berobat atas penyakit yang dideritanya selama ini.

Obyek yang ditangani oleh Ponari adalah dalam bidang pengobatan, dengan sasaran orang miskin dan tidak mampu dengan biaya yang sangat super ringan dan sangat terjangkau oleh kalangan rakyat miskin. Unsur bisnis dapat dicoret dari masalah ini. Bila unsur bisnis telah hilang maka secara otomatis unsur eksploitasi pun juga hilang.

Mayoritas pasien yang datang ke Ponari adalah mereka yang hidup di bawah kemiskinan. Hasrat berobat telah terpendam begitu lama. Pengobatan dengan menggunakan fasilitas “Jaring Pengaman Sosial” hanya akan menyisakan rasa pedih di kalangan masyarakat miskin. Secara realita dan sudah banyak diliput diberbagai media masa, bagaimana perlakuan Rumah Sakit terhadap para pasien yang menggunakan fasilitas JPS. Jangankan kenyamanan perawatan, keramahan saja tidak diperoleh oleh para pasien pengguna JPS.

Berikut ini jawaban Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes Budiarja Singgih menjawab pertanyaan para wartawan: "Apakah larisnya dukun cilik itu akibat mahalnya biaya medis.?" “Oh tidak. Sekarang sudah ada Jamkesmas. Jadi semuanya murah kok. Itu hanya karena hal menarik dan masyarakat kita berbondong-bondong ke sana bukan karena pelayanan yang kurang." Budiarja menyatakan hal itu usai acara menyambut Hari Gizi Nasional ke-59 di Kantor Depkes, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa (10/2).

Lebih lanjut Budiarja mengatakan: "Itu adalah kultur masyarakat kita. Itu fenomena umum. Kita harus berpikiran positif selama tidak merugikan masyarakat.” Sebuah jawaban yang menurut penulis tak lebih dari sebuah lawakan yang tidak lucu.
Penghentian pengobatan oleh Ponari seakan-akan ada pesanan dari pihak lain yang merasa dirugikan oleh kehadiran pengobatan Ponari yang Super Murah. Bila hal ini benar, maka faktor bisnis dan politis dapat dijadikan tudingan pertama sebagai dalangnya.

KNPA juga begitu keras bersuara tentang eksploitasi anak, dalam hal ini Ponari, tapi tak adakah sedikit rasa iba dari KNPA dan para pihak terkait melihat kekecewaan di mata rakyat miskin yang mendambakan pengobatan dengan biaya yang super murah. Atau telah hilangkah “Hak rakyat miskin untuk hidup sehat”?

Masih banyak masalah anak-anak yang perlu perhatian KNPA. Jangan karena hanya kasus Ponari diliput di media masa maka KNPA juga ikut-ikutan unjuk gigi. Jangan jadikan kasus Ponari sebagai jembatan penunjang popularitas KNPA.
Ponari adalah setitik harapan rakyat kecil yang masih tersisa, sudah terlalu banyak harapan rakyat miskin yang hilang. Apakah harapan yang tinggal setitik ini juga akan dirampas? Tak bolehkah rakyat kecil merasakan senyum kesehatan dibalik kelaparannya?

Pemerintah seharusnya menjadi mediator untuk menertibkan proses berobat terhadap Ponari sehingga menjadi lebih tertib, aman serta nyaman, bukan dengan alasan demi ketertiban umum dan lingkungan dengan tegas menyatakan lokasi dan kegiatan praktik Ponari ditutup. Ponari bukan pedagang kaki lima yang merusak pemandangan kota.

sumber KabarIndonesia -

0 komentar:

Posting Komentar